PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, DAN EKONOMI PERTANIAN ORGANIK
Saat ini pertanian organik menjadi teknologi pertanian alternatif yang banyak
diterapkan oleh petani. Istilah "organik" itu sendiri, di kalangan
tertentu dimaksudkan untuk membedakan ciri antara pertanian dengan menggunakan
asupan buatan secara kimia dan pertanian yang dibuat berdasarkan atas
ketersediaan bahan di lokal tertentu. Dalam berbagai diskusi, terutama di
kalangan Non Government Organization (NGO) sebagai fasilitator petani di
tingkat grass root, penggunaan pilihan istilah tersebut masih beragam. Istilah
lain yang sering dipergunakan ialah pertanian lestari, pertanian alami,
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), pertanian selaras
alam dan LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture).
Reijntjes, et.al, (1992) mengatakan bahwa paling tidak ada lima hal yang perlu
diperhatikan dalam konsep pertanian berkelanjutan, (1) mantap secara ekologis,
(2) bisa berlanjut secara ekonomi, (3) adil, (4) manusiawi, dan (5) luwes.
Salah satu lembaga yang turut mempromosikan pertanian dengan asupan luar rendah
adalah ILEIA (Information Centre for Low External Input And Sustainable
Agriculture), sebuah lembaga informasi pertanian di Belanda sebagi pusat
informasi dan promosi pertanian dengan asupan luar rendah dan berkelanjutan.
Selain itu ILEIA juga memfasilitasi pengembangan pertanian di lokasi yang tidak
sesuai untuk penggunaan asupan luar yang tinggi dan kepentingan memadukan LEISA
dengan sumber-sumber dan pengetahuan lokal yang menggunakan asupan luar secara
arif (Reijntjes, C, et al, 1999).
Namun dari berbagai istilah yang dipergunakan, setidaknya terdapat tiga muatan
penting yang perlu ditekankan sebagai ciri yang mengikutinya, yaitu (1) basis
pada sumberdaya lokal, (2) teknologi yang dipergunakan, dan (3) berkelanjutan.
Ketiga hal tersebut merupakan buah refleksi atas pengalaman bertani pada masa
lalu bahwa intervensi pemerintah pada sektor pertanian terlalu besar, dan
petani hanya dijadikan obyek pembangunan saja sehingga petani tidak memiliki
kreativitas untuk mengembangkan usaha taninya secara mandiri (Hamengku Buwono
X, 2000).
Selain masalah peran petani di atas lahannya sendiri, kelemahan bertani pada
masa lalu menimbulkan banyak persoalan antara lain masalah biaya operasional
yang tinggi, degradasi lahan, hama yang tidak terkendali, berkurangnya
kesempatan kerja perempuan, berkurangnya sumberdaya genetik dan varietas lokal,
ketergantungan, dan kemiskinan di perdesaan (Maria Muris., et al, 2000; William
Collier, et al, 1996; F. Rahardi, 2000; Francis Wahono, 1999; Kasumbogo Untung,
2000; Vandana Shiva, 1999; Hüsken. F, 1998). Meski demikian, beberapa penulis
juga mengakui bahwa (1) introduksi berbagai varietas padi unggul berumur
pendek, (2) supplai yang besar untuk pupuk yang disubsidi, (3) perbaikan dan
penyempurnaan jaringan irigasi, dan (4) komitmen di semua lini birokrasi
pemerintahan untuk menaikkan produksi padi mengakibatkan kenaikan produksi yang
spektakuler (Fox, J.J, 1997), dan mengakibatkan Jawa Timur sebagai "rice
basket" pada tahun 1980-an, dan menyebabkan propinsi Jawa Timur memberikan
kontribusi terbesar dibandingkan propinsi lain di Jawa, yakni sebesar 20,1%
dari total produksi nasional pada tahun 1986. Pada kisaran tahun yang sama,
secara nasional produksi beras juga mengalami kenaikan yang cukup berarti.
Namun Francis Wahono (1999) mengemukakan fakta yang lain bahwa import beras
Indonesia benar-benar nol persen itu hanya terjadi pada tahun 1985 saja,
setelah tahun 1990 impor beras nasional tidak pernah nol lagi.
Persoalan-persoalan pertanian pada masa lalu tersebut bisa dikatakan terjadi
dalam seluruh lini proses bertani. Persoalan tersebut bukan lagi berada pada
tataran bertani sebagai unit usaha, namun sudah meluas ke persoalan sosial, dan
kebudayaan bertani itu sendiri. Maka dalam konteks persoalan pertanian secara
keseluruhan, pertanian organik saat ini menjadi sebuah "solusi"
terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan dan sumberdaya pertanian,
kultur bertani, keragaman hayati, independensi pelaku bertani, dan keadilan
pasar (fair trade), seperti yang dinyatakan oleh Gunnar Rundgren (2001),
presiden IFOAM tentang pertanian organik.
Karena keterbatasan literatur yang menampilkan data empiris mengenai pertanian
organik di Indonesia, maka tulisan ini lebih banyak mengemukakan pertanian
organik secara normatif dengan mengoptimalkan informasi yang ada. Oleh karena
itu, tulisan ini tidak akan melihat pertanian organik secara holistik, akan
tetapi mencoba "meraba" kekuatan pertanian organik dalam mengatasi
persoalan di atas. Penulis mencoba mengkontekstualisasikan pertanian organik
dalam situasi saat ini, di mana bangsa Indonesia mengalami krisis multi
dimensi, dan bagaimana peluang pertanian organik dalam pembangunan sosial,
ekonomi, dan budaya bertani.
Pertanian Organik sebagai Media Pendidikan Horisontal
Presiden IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement),
Gunnar Rundgren, (2001) melaporkan bahwa terdapat banyak solusi yang ditawarkan
melalui bertani secara organik. Salah satu yang penting untuk diberi
highlighted adalah masalah peningkatan kapasitas organisasi tani.
Tabel 1. Beberapa kelebihan pertanian organik menurut IFOAM (2001)
1.Masalah yang dipecahkan
2.Solusi yang ditawarkan
3.Kesehatan yang diakibatkan oleh pestisida
4.Tidak menggunakan pestisida
5.Hormon antibiotik, dan sebagainya dalam hewan ternak yang berpotensi
mengganggu kesehatan
6.Mengembangkan sistem ternak
7.Integrasi antara ternak dan tanaman
8.Memenuhi kebutuhan pengobatan penyakit ternak
9.Lingkungan akibat pestisida dan asupan kimiawi
10.Tanpa asupan kimia
11.Polusi karena kotoran ternak dan limbah organik
· Integrasi ternak dan tanaman
· Pengurangan kepadatan ternak/ternak memenuhi kebutuhan pangannya sendiri
12.Penurunan keragaman hayati lingkungan
13.Tanpa asupan kimia
Tanpa tanaman hasil rekayasa (GMO crops)
Diversifikasi produksi
Degradasi sosio kultural
Revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru
Pendapatan petani yang rendah
Mengurangi biaya produksi
Meningkatkan pendapatan
Diversifikasi pasar
Rendahnya efisiensi biaya untuk asupan
· Mengembangkan manajemen dan teknologi
· Efisiensi penggunaan sumberdaya lokal (pertanian) lebih tinggi
Urbanisasi yang mengakibatkan kemiskinan di desa dan kota
Meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mengurangi aliran uang ke luar wilayah
Peningkatan kapasitas organisasi
Ancaman keamanan pangan
Peningkatan produksi
Ketersediaan asupan untuk produksi
Mengurangi ketergantungan asupan
Peningkatan pendapatan
Sabilitas produksi
Peningkatan keanekaragaman sumberdaya
Penggunaan sumberdaya lahan optimal
Sumber: http://www.IFOAM.org, diolah dengan
berbagai penyesuaian
Bila diartikan secara lebih dalam, ungkapan peningkatan kapasitas organisasi
tani mengandung muatan "pendidikan". Pendidikan yang terdapat di sini
lebih ditekankan pada proses bernalar dengan pendekatan participatory action
research, karena petani tidak punya sekolah dan guru, petani hanya memiliki
fasilitator entah dari pemerintah, atau lembaga publik lainnya. Proses inilah
yang memberikan jaminan akan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman empiris
yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diseminasi
bertani secara organik lebih banyak dimulai di tingkat petani, sehingga bertani
secara organik mempunyai arti sebagai media pendidikan horisontal, yang selama
ini tidak diemban secara serius oleh organisasi tani "formal". Dalam
hal ini sebenarnya dengan bertani secara organik yang berbasis pada konteksnya
akan memberikan kontribusi pada pemberian peluang yang luas bagi petani untuk
menjadi manusia cerdas (Diartoko, P, 2000), dan berdasarkan atas pengalaman
pelaku petani di pegunungan kapur selatan Jawa Timur pertanian organik yang
saat ini dijalankan merupakan kombinasi antara pertanian intuitif yang
terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya.
Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi
nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.
Karena salah satu muatan pertanian organik adalah berbasis pada sumberdaya
lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan ulang sampah
organik dan kotoran organik, maka nilai kearifan terhadap pengelolaan dan
penataan sumberdaya dengan sendirinya akan didialogkan di tingkat horisontal
menjadi point of view dalam bertani secara organik. Dengan sendirinya,
peran pihak luar hanya diperlukan ketika petani memerlukan solusi khusus
mengenai persoalan praktis di lapangan dan memfasilitasi hubungan keluar dengan
pihak lain. Interaksi terus menerus yang menekankan pada proses mencari dan
menemukan akan menjadikan pertanian di Indonesia maju, bukan dalam konsepsi
Iptek dan konsepsi matematika, namun dalam konsepsi budaya (Sri-Edi Swasono,
2001).
Pertanian Organik, Lingkungan, Ketersediaan, dan Kecukupan Pangan
Dalam sejarah bertani seperti yang disebutkan Website of Indonesia
Environment and Development (http://www.lablink.or.id), bahwa perkembangan
pertanian dari zaman ke zaman banyak dipengaruhi pengetahuan lokal (indigenous
knowledge). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang berada dalam suatu
masyarakat dimana selalu dikembangkan sepanjang waktu dan diteruskan untuk
pembangunan yang bersifat berdasarkan atas pengalaman, selalu dikaji ulang
penggunaannya, diadaptasikan dalam budaya dan lingkungan lokal, selalu berubah
dan dinamis (http://www.panasia.org.sg). Pada konteks di atas, secara budaya[2], proses
bertani organik adalah bertani yang bisa dikategorikan "masih
konsisten" dalam keberlanjutan pertanian masa lalu. Artinya bahwa
introduksi pertanian organik ditingkat petani akan mempengaruhi perubahan
budaya yang dicirikan oleh perubahan nilai hidup komunitas. Perubahan budaya
yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang lebih baik dan beradab selain
menjawab isu-isu mendasar saat ini seperti demokrasi, gender, relasi
patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya.
Francis Wahono, seorang ekonom, dalam Wacana (2000) mengatakan bahwa masalah
dalam kebertanian bukan semata-mata penataan lahan, produksi, dan distribusi.
Tetapi kegiatan bertani adalah kegiatan yang melibatkan penataan dan pengolahan
lahan, produksi dan distribusi, yang tidak hanya untuk memperbanyak makanan
sehingga cukup sampai berkelimpahan, tetapi dengan bekerja demikian manusia
akan semakin memaknai dan dihargai hidupnya. Selanjutnya beliau mengatakan
bahwa hal yang penting dalam bertani adalah faktor manusia, alam, dan teknologi
[3].
Definisi yang diberikan di atas sebenarnya sudah bermuatan tujuan, dan secara
argumentatif, tujuan berupa kemakmuran rakyat menurut batasan di atas,
dalam konteks kini lebih ditekankan pada "kelangsungan hidup" rakyat,
dimana istilah tersebut mengandung muatan kesadaran baru akan kelestarian
lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, alam
dan isinya.
Salah satu kekuatan pertanian organik dengan muatan yang sudah didiskusikan di
atas, adalah kekuatan dalam mempengaruhi cara berfikir dan sikap petani dalam
memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi dan
distribusi, mempertimbangkan kelangsungan hidupnya dan keturunannya.
Pertimbangan memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya bukan lagi
didasarkan oleh pertimbangan "praktis" mengenai harga dan
ketersediaan barang di pasaran, akan tetapi justru akan memperluas cakrawala
kreatif terhadap upaya memperpanjang siklus energi. Dengan demikian maka,
dengan sendirinya kekhawatiran mengenai kelangkaan sumberdaya akan teratasi,
dan petani tidak tercabut dari akar budayanya dalam kegiatan bertani.
Kembali pada kemakmuran rakyat sebagai tujuan dalam bertani, pengalaman petani
di kabupaten Pacitan Jawa Timur menyebutkan bahwa penanaman padi cempo welut
(salah satu jenis padi lokal) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas
900m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan gadung, dan
benih sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5kg) menghasilkan gabah kering sebanyak
450kg, hal ini berbeda sangat significant jika dibandingkan dengan pengalaman
tanam pada masa lalu yang sarat dengan asupan dari luar baik pupuk maupun
pestisida, bahwa dengan jumlah benih yang kurang lebih sama hanya menghasilkan
gabah kering sekitar 200 hingga 250kg (Thukul, edisi 2, Maret 2001). Panenan
yang diperoleh lalu dibagikan ke anggota dan non anggota kelompok tani dengan
mekanisme "ijol"[4]. Mekanisme seperti ini adalah karya dari
indigenous knowledge yang dimiliki petani, dipelihara dan dikembangkan secara
terus menerus. Dari sisi kepentingan "lumbung benih" petani yang
membagikan benih mencatat siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan
demikian seterusnya. Dengan demikian jaminan akan ketersediaan benih yang
beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggungjawab
komunitas (kolektif), seperti dalam penggunaan air. Dalam pertanian organik hal
ini disebut sebagai lumbung benih komunitas yang hidup, karena bukan bersifat
material seperti gudang untuk menempatkan gabah panenan, tetapi justru ditanam,
dan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha kolektif dalam proses
stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Keuntungannya selain diperoleh varietas yang "stabil" produksinya,
juga varietas tersebut tidak akan punah karena kerusakan fisik, kimia,
perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai.
Dengan demikian maka pertanian organik dalam konteks lingkungan dan kemakmuran
rakyat lebih berfungsi dalam membangun supporting system dalam memilih,
mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan kemampuan manusia pelaku
bertani, supporting system secara kolektif tersedia, maka lingkungan,
keberlanjutan produksi, dan ketersediaan pangan akan terjaga. Dari sisi
kecukupan pangan petani tidak akan kehilangan jenis dan jumlah pangan yang
sehat.
Pertanian Organik dan Pendapatan Petani
Sebagai salah satu tumpuan hidup 44,97% penduduk Indonesia (Sakernas, 1998), pertanian
justru memberikan kontribusi (17,3%) lebih rendah dari sektor industri (25,2%)
(BPS, 1993). Terlepas dari persoalan penambahan tenaga kerja ke perdesaan,
namun jua karena perhatian pemerintah dalam pemulihan ekonomi (economic
recovery) hanya dikhususkan untuk sektor industri dan perbankan. Kalaupun ada,
tidak seserius di sektor industri dan masih mengalami kendala perilaku
birokrasi. Selain masalah ketertinggalan sektor pertanian sektor industri, hal
ini menunjukkan pula bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor
perekonomian tidak mampu memberikan kehidupan (insentif) yang layak bagi
penduduk yang bekerja pada sektor tersebut.
Hal ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Collier (1996)[5], bahwa banyak buruh tani tuna
kisma (landless) di Jawa mempunyai sumber-sumber pendapatan yang amat
terbatas, dimana kecil peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar pertanian.
Dan selama masa tersebut kemiskinan terdapat secara meluas baik di perdesaan
maupun perkotaan di Jawa. Beberapa persoalan ini muncul akibat konversi lahan
pertanian menjadi lahan industri, yang mengakibatkan penguasaan lahan pertanian
menjadi lebih kecil (kurang dari 05 ha), dan penurunan nilai tukar petani.
Jika dirunut lebih jauh terdapat dua pertanyaan yang menjadi kunci dalam bertani,
yaitu (1) persoalan lahan yang sempit dapat ditingkatkan produksinya, dan (2)
masalah nilai tukar produk pertanian organik. Menghadapi persoalan yang begitu
rumit di perdesaan, pertanian organik tidak mampu menjawab secara langsung saat
ini. Akan tetapi sebagai sebuah peluang, pertanian organik tetap akan mempunyai
peluang yang kuat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Pengalaman
bertani organik yang dilakukan sebuah NGO di Cisarua Bogor, menunjukkan bahwa
pertanian organik mampu mengatasi persoalan lahan untuk produksi. Dari
pengalaman tersebut dapat dikatakan bahwa pola bertanam yang multikultur dengan
diversifikasi jenis dan pola tumpangsari bisa mengatasi hal ini. Khusus untuk
sayuran, sangat memadai untuk dibudidayakan secara organik di lahan yang
sempit, karena harga sayur relatif lebih baik sehingga penerimaan petani masih
cukup untuk menutup biaya produksi.
Saat ini yang dapat dilakukan masih dalam taraf penghematan akibat pemanfaatan
bahan sisa di komunitas petani. Bagi rumah tangga petani tambahan pendapatan
masih disebabkan karena kenaikan harga produk pertanian organik karena
pergeseran selera konsumen, terutama konsumen yang memiliki kesadaran akan
makanan yang sehat. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan permintaan akan produk
organik. Beberapa pengalaman lapangan menyebutkan bahwa bagi petani yang belum
mempunyai pasar khusus produk pertanian organik masih menggunakan acuan harga
pasar umum yang belum menggunakan acuan kualifikasi produk yang ditawarkan.
Artinya bahwa pertanian organik masih berada pada tataran upaya mengurangi cost
untuk produksi, bukan dalam meningkatkan nilai tukar produk pertanian.
Sedangkan mengenai nilai tukar produknya sendiri sangat ditentukan oleh pasar.
Beberapa hal yang paling tidak perlu dipersiapkan adalah peran pemerintah dalam
menggairahkan produksi produk pertanian organik. Hal ini pernah dilakukan dalam
program Jaringan Pengaman Sosial, yaitu PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan
untuk Anak Sekolah) untuk anak sekolah dasar. Sayangnya kegiatan tersebut tidak
disertai dengan insentif yang memadai kepada petani sebagai penyedia bahan.
Namun sebagai sebuah promosi, hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa peran
pemerintah cukup baik dalam memberikan wacana baru tentang produk organik.
Beberapa saat yang lalu, di sebuah media massa juga disebutkan sebuah NGO di
Boyolali "membangun" pasar alternatif khusus untuk produk pertanian
organik (termasuk juga warung organik SAHANI), dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga produk non pertanian organik. Pada sisi pendapatan petani, hal
tersebut akan menjadi peluang yang baik, namun bagi masyarakat yang bekerja di
luar sektor pertanian dan tinggal di perkotaan akan kesulitan membeli makanan
yang sehat, karena makanan yang layak dan sehat baru dimiliki oleh masyarakat
yang mampu secara ekonomi.
Penutup
Sebagai sebuah alternatif, pertanian organik tetap menarik untuk ditindak
lanjuti, entah di lapangan atau dengan pengembangan riset di lembaga riset atau
perguruan tinggi. Konsep yang ditawarkan menjawab persoalan sustainability dari
pembangunan pertanian. Selain itu juga memberikan banyak manfaat bagi pelaku
bertani mengenai lesson learned kebertaniannya melalui fasilitasi jaringan
(networking) petani di tingkat horisontal. Selain berfungsi sebagai media untuk
desiminasi, hal ini juga berperan dalam pendidikan orang dewasa agar petani
juga mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia cerdas. Pada sisi budaya, hal
ini akan memberikan wacana dan proses kristalisasi nilai kebertanian yang
selalu mendorong petani untuk mengalokasikan sumberdayanya secara arif.
Pertanian organik akan berkembang dan meluas, maka tanpa mengabaikan
pertimbangan mengenai pendapatan petani bagaimanakah peran-peran stakeholders
(pihak-pihak yang berkepentingan) dalam memberikan dukungan pasca panen hingga pasar,
sehingga pangan yang sehat akan menjadi hak dan dimiliki oleh semua.***
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), Sakernas 1998, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Jakarta.
Collier, L.William, Santoso, Kabul., Soentoro, Wibowo, Rudi., 1996, Pendekatan
Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa; Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima
Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Diartoko, Paulus, 2000, Pendidikan yang Partisipatif; artikel ilmiah yang
disampaikan dalam lomba penulisan artikel ilmiah tentang Pendidikan Indonesia
di Masa Depan dalam rangka Dies Universitas Negeri Yogyakarta.
Fox, JJ, 1997, Pembangunan yang Berimbang; Jawa Timur dalam Era Orde Baru, PT.
Gramedia, Jakarta, halaman 167.
Francis Wahono, 2000. Menuju Penguatan Hak-hak Petani Melalui Gerakan Petani
Organik. Dalam Wacana; Jurnal ilmu Sosial Transformatif VII, 2000, INSIST
Press, Yogyakarta.
Francis, Wahono, 1999, Demokrasi Ekonomi; Agenda Pemerdekaan Indonesia Ke-2,
Pidato Dies; disampaikan pada Dies Natalis XLIV Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan; dalam Perspektif Antropologi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1985. Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara baru , Jakarta.
Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman; Sejarah
Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, PT Gramedia, Jakarta.
IIRR, 2001, Indigenous Knowledge; What is Indigenous Knowledge?, Panasia: dalam
http://www.panasia.org.sg/iirr/ik.htm.
Reijntjes, C, et.al, 1992, Pertanian Masa Depan; Pengantar Untuk pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, ILEIA, edisi terjemahan: Y. Sukoco, SS,
Kanisius, Yogyakarta.
Rundgren, Gunnar, 2001, Reasons and Arguments for Organic Agriculture,
International Federation For Organig Agriculture Movement (IFOAM); Reports on
Organic Agriculture Worldwide, http://www.ifoam.org.
Schumacher, E.F, 1973, Small is Beautiful; A Study of Economics as if People
Mattered, london: Blond and Briggs.
Shiva, Vandana, 1999, Monocultures, Monopolies, Myths, and Masculinisation of
Agriculture, Ecologia Politicacns-rivista telematica di politica e cultura, http://quipo.it/ecologiapolitica/web/1-2/articoli/shiva.htm.
Swasono, Sri-Edi, Arief, Sritua, Nurhadiantomo, Hatta, Mohamad, 2001, Ekonomi
Kerakyatan, Muhammadiyah University Press, Suarkarta.
Thukul, edisi 2, Maret 2001, Melawan Kekerasan Dengan Cinta, Plan International
Program Unit Pacitan-Kelompok Tani Pacitan, halaman 3.
-, 2001, Perkembangan Pertanian Dari Zaman ke Zaman, Website of Indonesia
Environment and Development, http://www.lablink.or.id.
http://sila89.wordpress.com/2009/12/09/pertanian-organik-wujud-baru-kapitalisme-perspektif-ekologi-dan-ekonomi/
PERTANIAN ORGANIK WUJUD BARU KAPITALISME;
Perspektif Ekologi dan Ekonomi
Pertanian
organik saat ini sedang naik daun. Selain pelaku pertanian organik yang
cenderung mengalami peningkatan, jumlah permintaan produk pertanian organik
juga semakin meningkat bahkan sulit dipenuhi oleh produsen. Kesadaran konsumen
akan makanan yang sehat dan terbebas dari residu pestisida atau zat anorganik
lainnya menyebabkan produk pertanian organik semakin banyak dicari. Trend pertanian
organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan
dan memahami keunggulan sistem pertanian organik tersebut. Beberapa ekspatriat
yang sudah lama hidup di Indonesia, memiliki lahan yang luas dan ikut membantu
mengembangkan aliran pertanian organik tersebut ke penduduk di sekitarnya.
Kemudian beberapa mantan perwira yang memiliki hoby bercocok tanam juga
sekarang beramai-ramai mulai membenahi lahan luas yang dimiliki mereka dan
mempekerjakan penduduk sekitarnya sekaligus alih teknologi. Disamping itu
banyak lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan mengembangkan sistem
pertanian organik di Indonesia melalui pembinaan sumberdaya manusia ataupun
bertujuan menggapai pasar organik di luar negri.
Meskipun
beberapa petani sudah mulai mengembangkan dan bertani secara organik sejak
lama, sebagai contoh kebun pertanian organik Agatho di Cisarua sudah lebih
sepuluh tahun eksis dalam sistem pertanian organik, namun perkembangan
pertanian organik di Indonesia baru dimulai sejak empat hingga lima tahun yang
lalu. Jauh tertinggal dibandingkan dengan Jepang, Belanda, Perancis, Itali, dan
Amerika Serikat.
Cikal
bakal pertanian oganik sudah sejak lama kita kenal, sejak ilmu bercocok tanam
dikenal manusia. Pada saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan
menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan
ledakan populasi manusia maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu
revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan
kebutuhan pangan. Dimana penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas
unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida,
intensifikasi lahan dan lainnya mengalami peningkatan. Namun belakangan
ditemukan berbagai permasalahan akibat kesalahan manajemen di lahan pertanian.
Pencemaran pupuk kimia, pestisida dan lainnya akibat kelebihan pemakaian
bahan-bahan tersebut, ini berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan
kesehatan manusia akibat selalu tercemar bahan-bahan sintetis tersebut.
Pemahaman
akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari
sehingga dicari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang
bebas dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih
sehat. Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to
nature). Namun pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah
di jaman dulu.
Dalam
pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk
organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba
serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut.
Pertanian organik di definisikan sebagai sistem produksi pertanian yang
holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas
agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup,
berkualitas, dan berkelanjutan (Anonymous, 2000).
Lebih
lanjut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements)
menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang
mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi
tanah. Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan,
pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan
standardisasi. Penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak
diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga
pasca panen (Anonymous, 2000).
Sebagian
orang menilai bahwa pertanian konvensional tidak beda dengan pertanian
berkelanjutan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan unsur-unsurnya.
Pertanian berkelanjutan lebih menekankan penggunaan unsur-unsur alam, dan mesti
bekerjasama dengan alam untuk jangka waktu yang panjang, unsur-unsur yang digunakan
untuk usaha pertanian tidak boleh merusak alam. Namun ada juga yang berpendapat
bahwa pertanian berkelanjutan harus melawan pertanian konvensional, dengan cara
menghentikan total penggunaan bahan ki-mia pertanian.
Menurut
Jaker PO (Jaringan Kerja Pertanian Organik) dan IFOAM, ada 4 prinsip dasar
dalam membangun gerakan pertanian berkelanjutan :
- Prinsip
ekologi. Prinsip ini mengembangkan upaya bahwa pola hubungan antara
organisme dengan alam adalah satu kesatuan. Upaya-upaya pemanfaatan air,
tanah, udara, iklim serta sumber-sumber keanekaragaman hayati di alam
harus seoptimal mungkin (tidak mengeksploitasi). Upaya-upaya pelestarian
harus sejalan dengan upaya pemanfaatan.
- Prinsip
teknis produksi dan pengolahan. Prinsip teknis ini merupakan dasar untuk mengupayakan
suatu produk organik. Yang termasuk dalam prinsip ini mulai dari transisi
lahan model pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan, cara
pengelolaannya, pemupukan, pengelolaan hama dan penyakit hingga penggunaan
teknologi yang digunakan sejauh mungkin mempertimbangkan kondisi fisik
setempat.
- Prinsip
sosial ekonomis. Prinsip ini menekankan pada penerimaan model pertanian
secara sosial dan secara ekonomis menguntungkan petani. Selain itu juga
mendorong berkembangnya kearifan lokal, kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki, dan mendorong kemandirian petani.
- Prinsip
politik. Prinsip ini mengutamakan adanya kebijakan yang tidak bertentangan
dengan upaya pengembangan pertanian berkelanjutan. Kebijakan ini baik
dalam upaya produksi, kebijakan harga, maupun adanya pemasaran yang adil
(Dewi, 2006).
PERSPEKTIF
EKOLOGI
Revolusi
hijau yang dipandang sebagai sebuah perubahan menuju ke arah yang lebih baik
ternyata membawa dampak seperti sebuah bom waktu. Capra (1999) menyatakan bahwa
revolusi hijau tidak membantu para petani, tanah maupun jutaan penduduk dunia
yang kelaparan. Revolusi hijau hanya membawa keuntungan bagi korporasi
petrokimia. Revolusi hijau telah menggeser berbagai pengetahuan lokal yang ada
pada petani kita dan menggantikannya dengan teknologi. WS Jackson dalam Capra
(1999) mengungkapkan bahwa revolusi hijau merubah dasar pertanian kita dari
semula tanah menjadi minyak.
Revolusi
hijau berkembang karena pemahaman yang keliru pada konsep ekonomi. Efisiensi
dan produktivitas menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pada
masyarakat industri. Konsep inipun menyebar tanpa pandang bulu hingga ke negara
agraris. Teknologi, sebagai salah satu upaya meningkatkan efisiensi dan
produktivitas juga diberlakukan pada bidang pertanian. Teknologi yang
berkembang sering tidak ramah lingkungan dan budaya, sehingga lingkungan serta
nilai budaya masyarakat lokal menjadi korbannya.
Berbagai
konsep yang berkembang dalam ekologi pada akhirnya dapat mengerucut pada
berbagai perspektif. Capra (2001) dan Ife (2002) berhasil memformulasikan
beberapa prinsip ekologi yang dapat dijadikan sebagai perspektif berbagai
kalangan. Ife mengemukakan empat prinsip ekologi, yaitu holistik,
keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan. Sedangkan Capra mengemukakan
lima prinsip ekologi, yaitu kesalingterhantungan, jejaring kerja, kerjasama,
fleksibilitas dan keanekaragaman.
Sachs
(1984) menyatakan bahwa ekologi manusia mengaitkan ekologi dengan ekonomi.
Dalam hal ini ekologi merangkum falsafah pengelolaan sumberdaya yang
mengupayakan produktivitas lewat dukungan ekosistem. Ekologi memacu kecerdikan
manusia untuk merubah unsur-unsur suatu lingkungan tertentu menjadi sumberdaya
ekonomi tanpa menggoyahkan neraca ekologi alam.
PERSPEKTIF
EKONOMI
Perkembangan
pertanian organik tidak dapat lepas dari tingginya permintaan produk ini.
Menurut Soekartawi (1976), permintaan adalah sejumlah barang yang sanggup
dibeli oleh konsumen pada tempat, waktu dan harga tertentu yang berlaku.
Sedangkan Bishop dan Toussaint (1998) menyatakan bahwa konsep permintaan
dipergunakan untuk mengetahui hubungan jumlah barang yang dibeli oleh konsumen
dengan harga alternatif untuk membeli barang tersebut dengan anggapan bahwa
harga barang lainnya tetap. Permintaan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan,
harga barang, harga barang lainnya dan selera konsumen.
Tingginya
permintaan tersebut tidak dibarengi dengan jumlah produk pertanian organik yang
ditawarkan. Komunitas petani organik di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung masih belum mampu memenuhi permintaan produk pertanian
organik yang semakin meningkat (Pikiran Rakyat, 13 Maret 2006). Tingginya
permintaan menyebabkan harga di pasaran juga melambung. Selain faktor
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, salah satu faktor yang membuat
produk pertanian organik mahal adalah berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh
produk pertanian organik. Konsumen yang memahami manfaat produk pertanian
organik akan dengan suka rela membayar berapapun harga yang ditawarkan dengan
alasan kesehatan.
EKONOMI
PASAR
Permintaan
yang tinggi serta harga yang menggiurkan membuat beberapa pengusaha besar pun
melirik pertanian organik. Terlepas bahwa mayoritas orang Indonesia masih
menyangsikan pertanian organik, namun secara nyata pertanian organik mulai bermunculan.
Pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis pertanian organik semakin
banyak karena menyimpan keuntungan besar. Sebenarnya kalangan birokrat sekarang
pun mulai melirik pertanian organik, tetapi yang menggerakkan mereka bukan soal
kesadaran ekologi tetapi lebih karena negara maju banyak yang mencari, artinya
peluang meraup devisa.
Salah
satu ciri bisnis dengan pendekatan kapitalis adalah memaksimalkan keuntungan
sebesar-besarnya. Ketika pertanian organik membawa peluang untuk meraup
keuntungan segala cara pun dilakukan, hal ini membawa dampak pada petani yang
nasibnya tidak berubah seperti pada pertanian konvensional. Petani hanya
sebatas sebagai buruh di lahannya sendiri.
Produk
pertanian organik selama ini memiliki pasar yang tersendiri. Sebagian besar
konsumennya ada di kota-kota besar yang terdiri dari kaum ekspatriat dan
golongan menengah atas. Harga yang sangat tinggi sebenarnya sangat bertolak
belakang dengan prinsip pertanian organik, apalagi distribusi margin yang tidak
merata. Harga di tingkat petani berbeda jauh dengan harga di swalayan atau toko
yang mengkhususkan menjual produk organik. Seharusnya dengan input yang
minimal, pertanian organik mampu menekan biaya sehingga harga produk organik
tidak sepantasnya mahal.
Mahalnya
harga produk pertanian organik tidak dapat lepas dari permainan di jalur
distribusi. Pihak perantara, yaitu pedagang seringkali menggunakan pendekatan
psikologis dalam menentukan harga. Asumsinya adalah produk yang berkualitas,
terjamin kesehatannya dan tidak mengandung residu bahan anorganik haruslah
berharga mahal.
Tingginya
keuntungan dari perdagangan produk pertanian organik menyebabkan bermunculannya
toko-toko retail yang memiliki jaringan nasional maupun internasional untuk
membuka gerai organik. Bahkan di beberapa kota besar terdapat toko yang
mengkhususkan untuk menjual produk organik.
Untuk
mengurangi kesenjangan distribusi margin, beberapa LSM pendamping petani yang
mengembangkan pertanian organik berusaha untuk memotong distribusi pemasaran.
Mereka membentuk komunitas petani organik yang tidak hanya melakukan budidaya
dengan sistem organik namun juga melakukan usaha pemasaran produknya secara
langsung ke konsumen. Harga yang ditawarkan tentu jauh berbeda dengan harga di
pasar swalayan. Terdapat dua tujuan dalam melakukan pemasaran langsung, yaitu
menambah margin dan juga mensosialisasikan pertanian organik pada masyarakat.
Harga yang relatif terjangkau dan komunikasi langsung dengan konsumen
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya produk
anorganik. Hasil akhir yang diharapkan tentunya adalah semakin banyak
masyarakat yang beralih kepada produk pertanian organik.
Masuknya
pengusaha besar menimbulkan pertanyaan apakah isu ekologi telah menyadarkan
kita semua ataukah hanya dikarenakan permintaan pasar yang berujung pada
keuntungan semata. Namun demikian paling tidak ada nilai tambah yang dapat
dicapai, yaitu kelestarian lingkungan. Apapun yang menjadi latar belakang
masuknya pengusaha besar dalam bisnis pertanian organik, lingkungan mendapatkan
manfaat berupa pelestarian.
Apabila
ditinjau dari sisi ekologi memang tidak ada permasalahan apakah pertanian
organik yang berkembang saat ini merupakan buah dari kesadaran ekologi ataukah
peluang pasar. Namun demikian, kesejahteraan petani perlu lebih dipikirkan.
Jangan sampai pertanian organik merupakan wujud dari kapitalisme gaya baru yang
semakin menghisap petani kecil.
PENUTUP
Pertanian
organik saat ini terus berkembang di Indonesia. Pendorong utamanya adalah
kekuatan bisnis, selain permintaan yang besar. Mengingat watak bisnis
kapitalistis yang serakah dan tak kenal henti akan keuntungan, maka bisnis
pertanian organik perlu diawasi. Terlepas dari kesadaran ekologi atau ekonomi
pasar, pertanian organik telah membawa manfaat besar bagi lingkungan. Namun
demikian pertanian organik bukan saja soal lingkungan yang lebih baik atau soal
kesejahteraan ekonomi petani, tetapi juga menyangkut demokrasi ekonomi. Semoga
pertanian organik bukan wujud baru dari sang kapitalisme. Amien.
PERTANIAN ORGANIK
1.
Pengertian Pertanian Organik
Ada dua pemahaman tentang pertanian organik
yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pertanian organik dalam artian
sempit yaitu pertanian yang bebas dari bahan – bahan kimia. Mulai dari
perlakuan untuk mendapatkan benih, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan
penyakit sampai perlakuan pascapanen tidak sedikiti pun melibatkan zat kimia,
semua harus bahan hayati, alami. Sedangkan pertanian organik dalam arti yang
luas, adalah sistem produksi pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami dan
menghindari atau membatasi penggunaan bahan kimia sintetis (pupuk kimia/pabrik,
pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan). Dengan tujuan
untuk menyediakan produk – produk pertanian (terutama bahan pangan) yang aman
bagi kesehatan produsen dan konsumen serta menjaga keseimbangan lingkungan
dengan menjaga siklus alaminya.
Konsep awal pertanian organik yang ideal adalah
menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu
sendiri, dan dijaga hanya minimal sekali input dari luar atau sangat dibatasi. (FG Winarno 2002)
1.
Prinsip – Prinsip Pertanian Organik
Prinsip-prinsip pertanian organik merupakan
dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip – prinsip
ini berisi tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian organik bagi dunia,
dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara
global. Pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia,
karena semua orang perlu makan setiap hari. Nilai – nilai sejarah, budaya dan
komunitas menyatu dalam pertanian.
Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pertanian
dengan pengertian luas, termasuk bagaimana manusia memelihara tanah, air,
tanaman, dan hewan untuk menghasilkan, mempersiapkan dan menyalurkan pangan dan
produk lainnya. Prinsip – prinsip tersebut menyangkut bagaimana manusia
berhubungan dengan lingkungan hidup, berhubungan satu sama lain dan menentukan
warisan untuk generasi mendatang.
Pertanian organik didasarkan pada:
1.
Prinsip kesehatan
2.
Prinsip ekologi
3.
Prinsip keadilan
4.
Prinsip perlindungan
Setiap prinsip dinyatakan melalui suatu
pernyataan disertai dengan penjelasannya. Prinsip – prinsip ini harus digunakan
secara menyeluruh an dibuat sebagai prinsip – prinsip etis yang mengilhami
tindakan.
1.
Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan
meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu
kesatuan dan tak terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap
individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah
yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan
dan manusia.
Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi
juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi.
Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk
menuju sehat.
Peran pertanian organik baik dalam produksi,
pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan
kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di alam tanah
hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan
makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan
kesejahteraan.
Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari
penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan
yang dapat berefek merugikan kesehatan.
1.
Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem
dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem
dan siklus ekologi kehidupan.
Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik
dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi
didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan
diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai
contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem
peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya
pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan
siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus – siklus ini bersifat universal
tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organik harus
disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan – bahan
asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan
pengelolaan bahan – bahan dan energi secara efisien guna memelihara,
meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam.
Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan
ekologis melalui pola sistem pertanian, pembangunan habitat, pemeliharaan
keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses,
memasarkan atau mengkonsumsi produk – produk organik harus melindungi dan memberikan
keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim,
habitat, keragaman hayati, udara dan air.
1.
Prinsip Keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang
mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling
menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar
manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain. Prinsip ini
menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun
hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di
segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan
konsumen.
Pertanian organik harus memberikan kualitas
hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan
pangan dan pengurangan kemiskinan. Pertanian organik bertujuan untuk
menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan ataupun produk lainnya dengan
kualitas yang baik.
Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak
harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat
fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya.
Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan
untuk produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial
dan ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan
sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil, dan
mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenarnya.
1.
Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati –
hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan
generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.
Pertanian organik merupakan suatu sistem yang
hidup dan dinamis yang menjawab tuntutan dan kondisi yang bersifat internal
maupun eksternal. Para pelaku pertanian organik didorong meningkatkan efisiensi
dan produktifitas, tetapi tidak boleh membahayakan kesehatan dan
kesejahteraannya.
Karenanya, teknologi baru dan metode – metode
yang sudah ada perlu dikaji dan ditinjau ulang. Maka, harus ada penanganan atas
pemahaman ekosistem dan pertanian yang tidak utuh.
Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan
tanggung awab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan
pemilihan teknologi di pertanian organik. lmu pengetahuan diperlukan untuk
menjamin bahwa pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah
lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu,
pengalaman praktis yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional
menjadi solusi tepat. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko
merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak
dapat diramalkan akibatnya, seperti rekayasa genetika (genetic engineering).
segala keputusan harus mempertimbangkan nilai – nilai dan kebutuhan dari semua
aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses – proses yang
transparan dan artisipatif.
1.
Pengembangan Pertanian Organik
Pengembangan pertanian organik harus mengacu
kepada prinsip – prinsip organik (prinsip kesehatan, prinsip ekologi, prinsip
keadilan dan prinsip perlindungan) agar mendapatkan hasil pangan yang bermutu
serta aman dikonsumsi.
Berdasarkan pertimbangan pelaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia
pada saat ini, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan
pertanian alternatif:
1.
Keragaman daur-ulang limbah
organik dan pemanfaatannya untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah.
2.
Memadukan sumber daya organik dan
anorganik pada sistem pertanian di lahan basah dan lahan kering.
3.
Mengemangkan sistem pertanian
berwawasan konservasi di lahan basah dan lahan kering.
4.
Memanfaatkan bermacam – macam
jenis limbah sebagai sumber nutrisi tanaman.
5.
Reklamasi dan rehabilitasi lahan
dengan menerapkan konsep pertanian organik.
6.
Perubahan dari tanaman semusim
menjadi tanaman keras di lahan kering harus dipadukan dengan pengembangan
ternak, pengolahan minimum dan pengolahan residu pertanaman.
7.
Mempromosikan pendidikan dan
pelatihan bagi penyuluh pertanian untuk memperbaiki citra dan tujuan pertanian
organik.
8.
Memanfaatkan kotoran ternak yang
berasal dari unggas, babi, ayam, itik, kambing, dan kelinci sebagai sumber
pakan ikan.
Sesuai dengan prinsip – prinsip pertanian
organik, ada sebuah metode pengembangan pertanian yang dikenal sebagai metode
bertani ‘tanpa bekerja’ dikembangkan di Jepang oleh seorang petani Jepang yang
berlatar belakang ahli mikrobiologi (mantan seorang ilmuwan laboraturium). Ada
empat azas bertani alami yang dipraktikan, yaitu :
1.
Tanpa pengolahan, yaitu tanpa
membajak atau membalik tanah.
Tanah sebenarnya mampu
mengolah dirinya melalui penetrasi akar – akar tumbuhan, aktivitas
mikroorganisme, binatang – binatang kecil dan cacing – cacing tanah.
1.
Tanpa pupuk kimia atau kompos yang
dipersiapkan.
Kebutuhan pupuk untuk
tanaman bisa dipenuhi dengan tanaman penutup tanah semisal leguminose, kacang –
kacangan dan mengembalikan jerami ladang dengan ditambah sedikit kotoran
unggas. Jika tanah dibiarkan pada keadaannya sendiri, tanah akan mampu menjaga
kesuburannya secara alami sesuai dengan daur teratur dari tumbuhan dan
binatang.
Jika tanah dibiarkan
secara alami, maka kesuburannya alaminya akan naik. Sisa – sisa bahan organik
dari tumbuhan dan binatang membusuk, oleh air hujan zat – zat hara masuk ke
dalam tanah, diserap tanaman dan menjadi makanan mikroorganisme.
1.
Tanpa menghilangkan gulma dengan
pengerjaan tanah atau herbisida.
Pada dasarnya gulma
mempunyai peranan dalam menyeimbangkan komunitas biologi dalam membangun
kesuburan tanah. Gulma – gulma itu cukup dikendalikan ukan dihilangkan. Mulsa
jerami, tanaman penutup tanah, penggenangan air sementara merupakan cara
pengendalian gulma yang efektif.
1.
Tidak tergantung dari bahan –
bahan kimia.
Ketika praktik – praktik
bertani yang tidak alami dengan pemupukan, pengolahan tanah, pemberantasan
gulma maka ketidakseimbangan penyakit dan hama menjadi masalah serius. Hama dan
penyakit memang tidak dipungkiri dapat memberi kerugian tetapi masih dalam
batas – batas yang tidak memerlukan penggunaan zat – zat kimia (pestisida).
Pendekatan yang arif adalah dengan menanam tanaman yang lebih tahan terhadap
hama dan penyakit pada sebuah lingkungan yang sehat. Penggunaan bahan kimia
hanya efektif untuk sementara waktu, pada saatnya akan menyebabkan terjadinya
ledakan hama yang lain karena keseimabangan bioligis terganggu karena
penggunaan bahan kimia tersebut.
1.
Kelemahan dalam Sistem Pertanian Organik
Beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam mengembangkan pertanian
organik, yaitu :
1.
Ketersediaan bahan organik
terbatas dan takarannya harus banyak
2.
Transportasi mahal karena bahan
bersifat ruah
3.
Menghadapi persaingan dengan
kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman dan limbah organik
4.
Hasil pertanian organik lebih
sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan
kimia terutama pada awal menerapkan pertanian organik.
5.
Pengendalian jasad pengganggu
secara hayati masih kurang efektif jika dibandingkan dengan penggunaan
pestisida kimia.
6.
Terbatasnya informasi tentang
pertanian organik.
1.
Kelebihan dalam Sistem PertanianOrganik
1.
Meningkatan aktivitas organisme
yang menguntungkan bagi tanaman.
Mikroorganisme seperti
rizobium dan mikroriza yang hidup di tanah dan perakaran tanaman sangat
membantu tanaman dalam penyediaan dan penyerapan unsur hara. Juga banyak
organisme lain yang bersifat menekan pertumbuhan hama dan penyakit tanaman.
Misalnya pertumbuhan cendawan akar (Ganoderma sp, Phytopthora sp)
dapat ditekan dan dihalangi oleh organisme Trichoderma sp.
1.
Meningkatkan cita rasa dan
kandungan gizi.
Cita rasa hasil tanaman
organikmenjadi lebih menarik, misalnya padi organik akan menghasilkan beras
yang pulen, umbi – umbian terasa lebih empuk dan enak atau buah menjadi manis
dan segar. Selain itu pertanian organik juga meningkatkan nilai gizi. Hasil uji
laboraturium terhadap beras organik mempunyai kandungan protein, dan lemak
lebih tinggi daripada beras nonorganik. Begitu pula nasi yang berasal dari
beras organik bisa bertahan (tidak mudah basi) dua kali lebih lama ketimbang
nasi dan beras organik. Kalau biasanya nasi akan menjadi basi setelah 12 jam
maka nasi dari beras organik bisa bertahan 24 jam.
Perspektife Agronomi
1.
Meningkatkan ketahanan dari
serangan organisme pengganggu.
Karena dengan penggunaan
pupuk organik yang cukup maka unsur – unsur hara makro dan mikro terpenuhi
semua sehingga tanaman lebih kuat dan sehat untuk menahan serangan beberapa
organisme pengganggu dan lebih tahan dari serangan peryakit.
1.
Memperpanjang daya simpan dan
memperbaiki struktur.
Buah dan hasil pertanian
tidak cepat rusak atau akibat penyimpanan. Buah cabai misalnya akan nampak
lebih kilap dengan pertanian organik, hal ini bisa dipahami karena tanaman yang
dipupuk organik , secara keseluruhan bagian tanaman akan mendapat suplai unsur
hara secara lengkap sehingga bagian – bagian sel tanaman termasuk sel – sel
yang menyusun buah sempurna.
1.
Membantu mengurangi erosi.
Pertanian organik dengan
pemakaian pupuk organik mejadikan tanah leih gembur dan tidak mudah terkikis
aliran air. Struktur tanah menjadi lebih kompak dengan adanya penambahan bahan
– bahan organik dan lebih tahan menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak
dipupuk bahan organik. Pada tanah yang miskin bahan organik, air mudah mengalir
dengan membawa tanah.